Wednesday, March 9

Resilience.


Alhamdulillah, today is really a good day :)



Beberapa tahun silam saya membaca Rectoverso karangan Dewi Lestari. Dalam cerpennya berjudul "Firasat", ia menceritakan tentang seorang wanita yang kerap mengikuti perkumpulan bernama Firasat. Dalam perkumpulan itu para anggotanya saling berbagi kisah yang difasilitasi oleh seorang yang ingin menghidupkan kembali kemampuan anggotanya untuk membaca hati. Alur cerpennya begitu mengalir tenang dan mudah diikuti. Namun kemudian saya bertanya "adakah perkumpulan semacam itu?"

Hari ini kembali lagi berkumpul bersama teman-teman untuk yang ke-5 kalinya. Perkumpulan ini adalah perkumpulan yang menyenangkan. 6 orang berkumpul lalu 2 orang sebagai pemateri memberikan pandangannya. Kadang diselingi diskusi ataupun penyampaian pendapat. Saya selalu bersemangat untuk datang. Saya tidak terlalu suka ghibah, Hey "Let people be people " "They know much better about their life dibandingkan kita sebagai penonton". Obrolan kali ini cukup mengena dalam buat saya yaitu tentang Resilience, ketahanan atau kemampuan seseorang untuk "dealing" dan beradaptasi dengan musibah, tantangan, stress dan lainnya. Resilience terdiri dari faktor protektif dan faktor resiko. Faktor resiko adalah segala sesuatu yang mempengaruhi kita sebagai manusia. Dan faktor protektif adalah hal yang bisa meminimalisasi adanya faktor resiko. Ketika faktor protektif lebih besar porsinya maka kita akan menjadi seseorang yang resilient. Penekanannya adalah kepada hal yang bisa kita kontrol, yaitu diri kita, ketahanan kita. Ada faktor eksternal dan internal dalam hal ini. Faktor eksternal berkaitan dengan social support (keluarga, sahabat, komunitas, lingkungan), ekonomi, politik, budaya dan lainnya. Sedangkan faktor internal berkaitan dengan kemampuan menyusun rencana realistis, keyakinan dan pandangan yang positif, kemampuan komunikasi, kecerdasan emosi dan spiritualitas. Saya selalu menekankan pada diri saya bahwa saya tidak bisa menuntut apapun dari orang lain dan saya tidak bisa memaksa orang lain untuk selalu menuruti ekspektasi kita. Let people be people. Kita dan orang lain penghubungnya satu, komunikasi. Individu yang bisa kontrol dan tuntut satu-satunya hanyalah diri kita. Sebagai contoh, saya tidak bisa menuntut orang tua saya untuk selalu menuruti keinginan saya. Orang tua saya mempunyai keterbatasan. Orang tua saya mempunyai pola pikir yang harus saya hargai. Satu-satunya yang bisa saya kendalikan adalah diri saya dan bagaimana cara saya berkomunikasi dengan orang tua. That's. Begitu pula dengan resilience. Kita tidak bisa mengontrol apapun yang terjadi diluar sana, masalah yang tiba-tiba datang, orang yang tiba-tiba menyakiti kita. That's out of our control. That's why kita perlu ketahanan untuk mengelola semua itu. Dengan apa? Dengan faktor internal yang telah disebutkan tadi. Selain faktor internal yang harus dikembangkan tadi ada kecerdasan emosi yang sebaiknya kita pahami. Kecerdasan emosi tentang pengelolaan diri meliputi self awareness, self regulation, motivatin, empathy dan social skills

Self awarenes berkaitan dengan bagaimana kita mengenali emosi kita. Respon apa yang keluar ketika suatu kejadian datang kepada kita. Selanjutnya, self regulation berkaitan dengan bagaimana kita mengelola emosi kita. Di self regulation ini kita diharapkan dapat memahami diri sendiri dan mengenali prinsip kita. Emosi ada untuk dikelola dan dilampiaskan dengan cara yang baik. Kecerdasan emosi selanjutnya ada motivasi, motivasi adalah tentang bagaimana kita mengembangkan sikap-sikap positif dalam melakukan sesuatu. Kenapa saya harus melakukan ini? Apa alasannya?. Selanjutnya adalah tentang empati, kemampuan kita memahami keadaan/kondisi orang lain. Empati kadang membutuhkan proses. Tapi ya kalau menurutku, empati bukan lantas kita terus sibuk ngurusin orang lain. Tapi lebih ke kepekaan lah. Yang terakhir adalah social skills. Okay, kita adalah makhluk sosial. Pro kontra pasti ada dalam kehidupan kita bersosial. Namun saya sangat senang bersosialisasi dan ketemu orang. Menurut saya, orang lain adalah media dan tempat belajar. Orang lain adalah media untuk berbagi. Apapun, kita tidak akan pernah bisa terlepas dari orang lain karena kita nggak bisa hidup sendirian. Kehidupan bersosial merupakan kehidupan yang rawan konflik, entah konflik dengan diri sendiri ataupun konflik dengan orang lain. Ya engga juga sih, tergantung kita mensikapinya, haha. Konflik ada untuk diselesaikan. Ada banyak cara untuk mengelola konflik, mediasi, win-win-solution ataupun mediasi. Penyampaian yang baik dan komunikasi yang baik dangat dibutuhkan dalam kehidupan bersosial. 

Dan yang terakhir, belajarlah untuk selalu memandang segala sesuatu dengan cara yang positif. Seburuk-buruknya kita menganggap suatu kejadian, ada hal positif yang dapat kita petik. Seburuk-buruknya kita menilai seseorang, pasti ada hal baik yang dapat kita ambil. Berfokuslah terhadap apa yang dapat kita ambil dari lingkuan. (Klise banget sih ya keliatannya, but it's true and I believe that).

Begitu obrolan hari ini, sebenernya ada dua topik yaitu resilience dan decission making. Saya masih belajar dan masih jauh dari sempurna. Tetapi, hidup memang adalah proses belajar kan? uthlubu 'ilmi minal mahdi ilal lahdi. Semakin dewasa kita akan lebih stabil dan bijak menghadapi masalah. Terimakasih mba Wening, obrolan kali ini bukan sekadar obrolan telinga kanan telinga kiri, melainkan pembelajaran untuk jadi pribadi yang lebih baik lagi.

I couldn't imagine, ketika suatu saat nanti punya temen sharing bulanan. Kita kumpul lalu ngundang satu pemateri buat self upgrading. Disitu kita bisa berbagi cerita tentang parenting, family, how to reduce stress, how to educate kid and babies, dan lainnya. Lah emang entar mau jadi apa, punya waktu po? Ya kan siapa tahu, lagipula belajar dan diskusi tentang kebaikan adalah hal baik. Wondering ada sekolah yang ga cuma educate kids tapi para orang tuanya juga punya komunitas diskusi dan belajar, tentunya untuk lebih memahami anak-anak mereka dan treatment apa yang sebaiknya dilakukan.

Buku catatan tanggal 9 Maret 2016.